sunset

sunset

Thursday, 11 February 2016

The Golden Rice

Jadi ceritanya saya ambil mata kuliah seminar untuk semester ini, nah aturan kelas seminar saat ini adalah selain kehadiran 80% saat kelas seminar diadakan juga minimal 6 kali kehadiran di seminar yang diadakan jurusan setiap rabunya. Alhamdulliah nya jadwal seminar dan kelas seminar ini memang dalam satu, atau sebenarnya itu dibuat seperti itu oleh pembuat jadwal. 

Untuk seminar pertama di semester ini temanya tentang bioteknologi, judul tepatnya : The Effect of Biotechnology to Our Society. Pembicaranya Ms. Solmaz Aslanzadeh, Ph.D , seorang doktor bioteknologi, keturunan Iran, berkewarganegaraan Swedia yang sudah satu setengah tahun ini tinggal di Indonesia dalam rangka urusan pekerjaan. Hehe, lengkap tah datana :P. Ms. Solmaz bercerita tentang kota tempat tinggalnya di Swedia, namanya Boraz. Ditulis boraz tapi bacanya boros, begitu katanya. Walaupun kota kecil tapi kota ini boleh dikatakan adalah kota yang bebas sampah. Setiap rumah tangga wajib memilah sampai menjadi berbagai jenis sampah untuk diproses selanjutnya. Ada yang direcycle, ada yang jadi bahan bakar, ada juga yang dibakar sebagai sumber panas di musim dingin. Pokoknya keren sudah proses pengolahan sampah di sana, dibanding di sini. Everywhere is trash can :p

Nah, mari beranjak ke cerita tentang bioteknologinya. Seperti kita tahu bahwa bioteknologi adalah teknologi yang melibatkan makhluk hidup baik itu mikroorganisme, tanaman, jamur atau yang lainnya. Bioteknologi sebenarnya sudah dikenal sejak dulu yaitu yang kita kenal saat ini sebagai bioteknologi konvensional seperti pembuatan yogurt, keju, oncom, dsb. Kalo sekarang ini, bioteknologinya udah gerak ke bioteknologi modern, mainannya udah rekayasa-rekayasa genetika. Itulah memag lebih arah ke arah sana bioteknologi saat ini, walaupun ada beberapa hal yang masih tersangkut masalah etik baik itu etik sosial maupun etik agama. 

Nah, salah satu bioteknologi yang menarik bagi saya (karena saya baru tahu info ini, *iya saya yang kuuleun :p ) yaitu tentang Golden Rice. 


Golden Rice ini adalah beras hasil rekayasa bioteknologi yaitu beras yang mengandung beta-karoten. Beta-karoten ini yang menyebabkan beras ini berwarna kuning keemasan, nah saat kita makan beta karoten ini akan diubah menjadi vitamin A. Tujuan dari rekayasa beras ini adalah untuk menanggulangi kekurangan vitamin A bagi penduduk-penduduk yang mayoritas makanan pokoknya adalah nasi. Jadi saat makan , walaupun cuma nasi ma kerupuk, tapi mereka sudah langsung mendapat asupan vitamin A. Kata Solmez, beras ini sudah dikembangkan di Philipina walaupun pas saya googling ternyata sudah ada juga yang buatan China. 

Pas googling-googling lagi, katanya gak semua orang suka dengan rekayasa beras ini. Banyak juga yang nolak, alasannya karena mereka khawatir ada efek samping ke depannya nanti atau efek rekayasa ini juga akan mempengaruhi padi-padi alami yang ditanam di sekitaran padi golden rice ini. Yah, namanya juga manusia, gak semua niat baik bisa ditanggapi dengan baik. Kalo saya pas liat golden rice ini langsung mikirnya nasi kuning, jadi kalo selametan gitu ga usah lagi pakai kunyit lagi, udah pake golden rice ini aja. Kan ada tuh beberapa orang yang gak suka makan nasi kuning karena masih kecium bau kunyitnya haha (padahal kalo masaknya bener mah ga bakal kerasa bau kunyit lagi, kata kakak saya antisipasi bau kunyit ini adalah sebelum ditumbuk, kunyit digoreng atau disanggrai dulu, pasti gak bau haha). 

Oh ya, sebenarnya golden rice ini bisa juga ngakalin bagi orang-orang yang pengen matanya sehat tapi gak suka makan wortel. Tapi sabaraha yah harga sakilona ieu beas? :)




Thursday, 4 February 2016

Dye-Sensitized Solar Cell


Dewasa ini penggunaan energi semakin hari semakin meningkat. Sebagian besar kebutuhan energi ini dipenuhi dengan menggunakan energi berbasis bahan bakar seperti minyak dan batu bara. Minyak dan batu bara termasuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui yang lama kelamaan akan habis jika dipergunakan secara terus menerus. Selain itu, penggunaan bahan bakar sebagai sumber energi pun menghasilkan polusi yang dapat menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, saat ini manusia mulai mencari sumber energi yang masih melimpah juga ramah lingkungan. Salah satu alternative sumber energi yang memenuhi dua kriteria tersebut adalah energi matahari.
Energi matahari memiliki karakteristik unggul untuk dipilih sebagai sumber energi alternative di antaranya tersedia melimpah dan gratis, ramah lingkungan, serta aman. Untuk memanfaatkan energi matahari ini, para ilmuwan memanfaatkan efek foto listrik yaitu proses pengubahan energi matahari menjadi energi listrik. Untuk melakukan proses pengubahan ini digunakan peralatan sel surya. Berbagai peralatan sel surya telah berhasil dikembangkan seperti sel surya berbasis material Kristal tungga Silikon yang telah ditemukan 50 tahun lalu dan share market mencapai 94%. Secara teori, Kristal tunggal silicon ini dapat mencapai efisiensi sebesar 92% dan secara pemasangan sebesar 20% dengan memanfaatkan prinsip p-n junction. 

Namun, untuk membuat kristal tunggal silicon ini memerlukan biaya produksinya yang mahal sehingga ilmuwan mencari alternatif lain untuk menurunkan biaya produksi. Salah satu caranya adalah membuat lapisan tipis silicon amorf.  Material ini memiliki tingkat energi defect yang dapat dikendalikan dengan hydrogenation serta energi band gap dapat diturunkan untuk  meningkatkan efisiensi penyerapan energi matahari. Tetapi, kekurangan material ini adalah   ketidakstabilannya yang menyebabkan efisiensi hilang 50% dalam 100 jam pertama operasinya.

Para ilmuwan tetap mencari alternative material untuk mendapatkan efisiensi tinggi, stabil serta biaya produksi murah. Salah satu alternative adalah dengan belajar dari alam melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan sehingga muncul ide untuk membuat dye sensitisized solar cell (DSSC). Material DSSC menggunakan dye (pewarna) yang menempel (sensitized) pada permukaan lapisan tipis oksida untuk mengoptimalkam pengabsorptian cahaya matahari.
Berikut  adalah skema susunan material pada DSSC :
Saat terdapat cahaya matahari, foton ditangkap oleh lapisan tunggal dye sehingga  menghasilkan eksiton yang secara cepat bergerak  ke permukaan film oksida (pada gambar menggunakan lapisan tipis oksida seng) kemudian dilanjutkan ke glass pengumpul dan dialirkan ke benda untuk dimanfaatkan listriknya. Setelah itu, elektron akan kembali bergerak ke glass pada permukaan bawah dan dialirkan ke elektrolit untuk disampaikan kembali ke dye yang kehilangan elektron karena tereksitasi cahaya matahari.


Saat ini, lapisan tipis yang berhasil disintesis untuk memenuhi kriteria di atas adalah Kristal nano TiO2 yang dikombinasikan dengan dye Rutherium- poly(pyridine) complex yang menyerap sampai energi near-infrared sehingga mencapai efisiensi sebesar 10.4% . Kristal nano TiO2 memiliki karakteristik luas permukaan yang luas sehingga mengoptimalkan penempelan dye pada permukaan untuk menyerap cahaya matahari. Kelemahan material ini adalah recombination rate (tidak berhasilnya elektron mencapai glass kolektor karena kehilangan energi) yang tinggi sehingga terjadi energi loss. Recombination rate ini dicuragai sebagai akibat dari kecilnya wilayah depletion layer pada nanokristalin TiO2. 

Para ilmuwan sampai saat ini masih berlomba untuk mendapatkan efisiensi optimal dari dye-sensitized solar cell ini dengan berbagai variasi material semikonduktor dan dye serta yang lainnya