Dewasa ini penggunaan energi semakin hari semakin meningkat. Sebagian besar kebutuhan energi ini dipenuhi dengan menggunakan energi berbasis bahan bakar seperti minyak dan batu bara. Minyak dan batu bara termasuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui yang lama kelamaan akan habis jika dipergunakan secara terus menerus. Selain itu, penggunaan bahan bakar sebagai sumber energi pun menghasilkan polusi yang dapat menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, saat ini manusia mulai mencari sumber energi yang masih melimpah juga ramah lingkungan. Salah satu alternative sumber energi yang memenuhi dua kriteria tersebut adalah energi matahari.
Energi matahari memiliki karakteristik unggul untuk dipilih sebagai sumber energi alternative di antaranya tersedia melimpah dan gratis, ramah lingkungan, serta aman. Untuk memanfaatkan energi matahari ini, para ilmuwan memanfaatkan efek foto listrik yaitu proses pengubahan energi matahari menjadi energi listrik. Untuk melakukan proses pengubahan ini digunakan peralatan sel surya. Berbagai peralatan sel surya telah berhasil dikembangkan seperti sel surya berbasis material Kristal tungga Silikon yang telah ditemukan 50 tahun lalu dan share market mencapai 94%. Secara teori, Kristal tunggal silicon ini dapat mencapai efisiensi sebesar 92% dan secara pemasangan sebesar 20% dengan memanfaatkan prinsip p-n junction.
Namun, untuk membuat kristal tunggal silicon ini memerlukan biaya produksinya yang mahal sehingga ilmuwan mencari alternatif lain untuk menurunkan biaya produksi. Salah satu caranya adalah membuat lapisan tipis silicon amorf. Material ini memiliki tingkat energi defect yang dapat dikendalikan dengan hydrogenation serta energi band gap dapat diturunkan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan energi matahari. Tetapi, kekurangan material ini adalah ketidakstabilannya yang menyebabkan efisiensi hilang 50% dalam 100 jam pertama operasinya.
Para ilmuwan tetap mencari alternative material untuk mendapatkan efisiensi tinggi, stabil serta biaya produksi murah. Salah satu alternative adalah dengan belajar dari alam melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan sehingga muncul ide untuk membuat dye sensitisized solar cell (DSSC). Material DSSC menggunakan dye (pewarna) yang menempel (sensitized) pada permukaan lapisan tipis oksida untuk mengoptimalkam pengabsorptian cahaya matahari.
Berikut adalah skema susunan material pada DSSC :
Saat terdapat cahaya matahari, foton ditangkap oleh lapisan tunggal dye sehingga menghasilkan eksiton yang secara cepat bergerak ke permukaan film oksida (pada gambar menggunakan lapisan tipis oksida seng) kemudian dilanjutkan ke glass pengumpul dan dialirkan ke benda untuk dimanfaatkan listriknya. Setelah itu, elektron akan kembali bergerak ke glass pada permukaan bawah dan dialirkan ke elektrolit untuk disampaikan kembali ke dye yang kehilangan elektron karena tereksitasi cahaya matahari.
Saat ini, lapisan tipis yang berhasil disintesis untuk memenuhi kriteria di atas adalah Kristal nano TiO2 yang dikombinasikan dengan dye Rutherium- poly(pyridine) complex yang menyerap sampai energi near-infrared sehingga mencapai efisiensi sebesar 10.4% . Kristal nano TiO2 memiliki karakteristik luas permukaan yang luas sehingga mengoptimalkan penempelan dye pada permukaan untuk menyerap cahaya matahari. Kelemahan material ini adalah recombination rate (tidak berhasilnya elektron mencapai glass kolektor karena kehilangan energi) yang tinggi sehingga terjadi energi loss. Recombination rate ini dicuragai sebagai akibat dari kecilnya wilayah depletion layer pada nanokristalin TiO2.
Para ilmuwan sampai saat ini masih berlomba untuk mendapatkan efisiensi optimal dari dye-sensitized solar cell ini dengan berbagai variasi material semikonduktor dan dye serta yang lainnya
No comments:
Post a Comment